Jumat, 13 Januari 2012

UAS PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PKN SD

PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA SD MELALUI PEMBELAJARAN PKN
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia, baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi, sangat penting untuk segera diwujudkan. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, tetapi juga bagaimana merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan merata (Marihot Manullang, 2010).

Mata pelajaran Pkn berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Maka dari itu, mata pelajaran Pkn ini mencakup materi tentang moral dan nilai khusunya pembelajaran di Sekolah Dasar yang menjadi pondasi dasar pembentukan karakter siswa.

Pembelajaran PKn SD akan berhasil jika dalam mempersiapkan, merencanakan dan dalam pelaksanaan pembelajarannya telah di susun dengan sebaik- baiknya. Sebagai calon guru SD kita hendaknya dapat mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakannya dengan baik.

Top of Form
Bottom of Form


Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan bermoral baik. Sebagai bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah dan mata kuliah di perguruan tinggi. Kedua, sebagai program pendidikan politik. Ketiga sebagai kerangka konseptual yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan.
Sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajegan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewarganegaraan, dan juga pendidikan IPS. Hal ini terlihat dari penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar pakai. Dalam Kurikulum 1975 disebutkan sebagai Pendidikan Kewargaan Negara (PKN), kemudian pada tahun 1984 diperkenalkan materi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang berisikan materi dan pengalaman belajar tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau “Eka Prasetia Pancakarsa.” Pada tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dadsar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Di era Kurikulum tahun 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang materi dan pengalaman belajar mencakup dimensi politik, hukum, dan moral, yang mengarah pada pembentukan watak/karakter kewarganegaraan.

Sebagai pendidikan politik tercermin pada masa orde lama, civics tampil dalam bentuk indoktrinasi politik Manipol Usdek dan Nasakom, kemudian pada masa orde baru mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dikemas sedemikian rupa sebagai wahana memasyarakatkan P4. Sedangkan di era reformasi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) memuat isu-isu dan fenomena zaman seperti demokratisasi, hak asasi manusia, hukum, dan globalisasi.
Dalam status yang ketiga sebagai kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan yang belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik.

Konsep pendidikan kewarganegaraan sebagai citizenchip education, yang seharusnya mengarah pada pembentukan karakter (character building) terabaikan. Dalam pembelajaran guru cenderung memihak pada tuntutan formal kurikuler dan kurang memperhatikan pengembangan pendidikan kewarganegaraan. Pembelajaran sosial nilai-nilai Pancasila cenderung berubah peran dan fungsinya menjadi proses indoktrinasi ideologi.

Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatan masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya belum saling mendukung secara komprehensif.Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. 1
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.



B.      Pengertian Judul

Pembentukkan karakter siswa SD melalui Pembelajaran PKn , artinya melalui materi-materi yang terdapat pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat membentu karakter siswa SD.
pendidikan merupakan upaya paling penting untuk membentuk kepribadian peserta didiknya. Selama ini, pendidikan moral disampaikan secara marjinal. Tanggung jawab pendidikan ini dibebankan pada pelajaran tertentu. Salah satu mata pelajaran yang sejak dahulu ‘dititipi’ untuk membantu membentuk karakter siswa di sekolah adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).



















BAB II
PERMASALAHAN

Apabila mencermati kondisi bangsa akhir-akhir ini, ketersediaan sumber daya manusia yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Hal ini perlu segera dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Selain itu, sampai saat ini sumber daya manusia yang dihasilkan melalui pendidikan di Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan seperti yang diharapkan dan tertuang dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003. Banyak ditemukan siswa yang menyontek ketika sedang mengerjakan soal ujian, bersikap malas, acuh tak acuh,  tawuran antarsesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, munculnya budaya materialistis, individualis, egosentris, kurang peka, rendahnya kepedulian pada orang lain, sopan santun dan tata krama mulai ditinggalkan, berkurangnya rasa hormat kepada orang tua merupakan contoh kasus-kasus aktual yang tidak sedikit ditemui dari para generasi muda. Salah satu budaya kekerasan yang membuat bangsa Indonesia diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok beberapa waktu yang lalu.
Berdasarkan berbagai fenomena yang sudah diuraikan di atas, pendidikan merupakan upaya paling penting untuk membentuk kepribadian peserta didiknya. Selama ini, pendidikan moral disampaikan secara marjinal. Tanggung jawab pendidikan ini dibebankan pada pelajaran tertentu. Salah satu mata pelajaran yang sejak dahulu ‘dititipi’ untuk membantu membentuk karakter siswa di sekolah adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).





BAB III
PEMBAHASAN

1.       Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Sebagaimana lazimnya semua mata pelajaran, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran memiliki visi, misi, tujuan, dan struktur keilmuaan mata pelajaran. Visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara. Misi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara, dilandasi oleh kesadaran politik, kesadaran hukum, dan kesadaran moral.
Adapun tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi sebagai berikut:

a.       memiliki kemampuan berfikir secara rasional, kritis, dan kreatif, sehingga mampu memahami berbagai wacana kewarganegaraan.
b.      Memiliki ketrampilan intelektual dan ketrampilan berpartisipasi secara demokratis dan bertanggung jawab.
c.       Memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan struktur keilmuan mata pelajaran mencakup dimensi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan nilai (values). Sejalan dengan hal tersebut telah berkembang wacana tentang pendidikan kewarganegaraan paradigma baru (new civil education) yang menyatakan bahwa struktur keilmuan mata pealajaran Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dimensi pengetahuan kewarganegaran (civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan (civic skill), dan watak atau karater kewarganegaraan (civic dispositions).

Secara garis besar, dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) yang tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi politik, hukum, dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran merupakan bidang kajian antar disiplin. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraaan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

Keterampilan kewarganegaran (civic skill) meliputi ketrampilan intelektual (intelektual skill) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skill) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keterampilan intelektual contohnya adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik seperti perlu atau tidaknya kampanye secara massal. Keterampilan berpartisipasi contohnya adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, seperti perlu atau tidaknya melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

Watak/karakter kewarganegaraan (civic disposition) merupakan dimensi yang paling subdstantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dimensi watak/karakter dipandang sebagai “muara” dari kedua dimensi lainnya.Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan , karakteristik mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran ditandai dengan penekanan dimensi watak, karakter, sikap dan hal-hal lain yang bersifat afektif.


2.       Pendidikan Karakter

Simon Philip dalam Qomari Anwar (2010) menyebutkan bahwa karakter merupakan kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Memahami karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, karakteristik, atau sifat yang khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima lingkungan.
Winne dalam Qamarulhadi (1996) menyebutkan bahwa karakter menunjukkan tindakan atau tingkah laku seseorang. Karakter erat keitannya dengan personality, seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Menyikapi dari pengertian tersebut peran pendidikan sangat penting dalam membentuk karakter seseorang. Pendidikan sebagai proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Dalam proses pendidikan karakter, peserta didik harus mendapatkan sekurang-kurangnya mencakup tiga hal, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis, (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

3.       Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pembentukan karakter.

Seperti disebutkan di atas bahwa dimensi watak/karakter merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sehingga perlu mendapat penekanan yang lebih dibanding dimensi lainnya.
Paradigma pendidikan pada dewasa ini secara umum menekankan pada kompetensi (kemampuan) yang harus dimiliki oleh peserta didik pada suatu jenjang pendidikan, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan penghayatan nilai-nilai. Intelektualitas dianggap faktor utama yang akan membawa orang pada kesuksesan dalam kehidupan. Hal dibantah oleh Goleman dalam Turmudhi (2003) menyebutkan bahwa kepribadian/karakter yang jauh lebih besar peranannya dibanding kemampuan intelektual dalam mengantarkan kejayaan suatu bangsa .Goleman menunjukkan betapa banyak orang yang secara intelektual tergolong pintar , tetapi gagal dalam kehidupannya. Kemampuan intelektualnya tidak didukung dengan kepribadian atau karakter yang baik, mengakibatkan timbulnya orang pintar yang jahat. Kemampuan intelektualnya digunakan untuk membodohi orang lain, sehingga muncul sikap-sikap berbuat curang, menipu, berbohong, berkhianat, bertindak korup dan sebagainya. Tak bisa dipungkiri kondisi bangsa Indonesia yang dilanda krisis multi dimensional, antara lain bersumber dari orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi tetapi memiliki kepribadian yang baik, sehingga menghasilkan moralitas-spiritualitas bangsa yang rendah.

Pengasahan kemampuan manusiawi (human capability) dalam pendidikan perlu memprioritaskan pencerdasan spiritual sebagai yang utama, yang kedua pencerdasan emosionalitas, dan yang ketiga pencerdasan intelektual (Turmudhi: 2003). Sebagai wahana pembentukan karakter bangsa maka dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu adanya perubahan paradigma. Orientasi kita yang lebih memprioritaskan ranah pengetahuan (kognitif), kita balik dengan lebih berorientasi pada ranah sikap (afektif) dan penerapan tingkah laku (psikomotor).
Proses pembentukan karakter bukan semudah membalik telapak tangan tetapi melalui proses yang meliputi pemberian informasi, penanaman kepribadian, dan pembiasaan (Munif Chatif:2008). Dalam kaitan ini pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu menampilkan contoh-contoh kepribadian yang baik pada akhirnya peserta didik akan meniru, dan menjadi suatu keyakinan dalam pola hidup, kemudian menjadi suatu kebiasaan dalam sikap dan tingkah laku.
Berdasarkan konsep tersebut perlu adanya pola pikir baru yang diterapkan dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara lain : misi pembentukan karakter peserta didik harus dijadikan dasar dan semangat dari setiap kebijakan, peraturan, program, maupun perillaku keseharian institusi sekolah, guru harus menjadi contoh teladan bagi pengembangan moralitas-spiritualitas di lingkungan sekolah, mata pelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga bermuatan pencerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sekaligus, sekolah harus menjadi tempat pergaulan sosial yang nyata untuk membiasakan atau membudayakan nilai-nilai spiritual, emosional dan intelektual. Sikap dan perilaku serta hubungan antara guru, murid, dan karyawan mencerminkan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas semua sivitas akademika sekolah.

Pembentukan karakter dalam Pendidikan Kewarganegaraan bersumber pada lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia yang mencakup unsur transendensi (Ketuhanan Yang Maha Esa), humanisasi (kemanusiaan yang adil dan beradab), kebinekaan (persatuan), demokratisasi (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan), keadilan (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan  satu di antara tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission. Saat ini citizenship tranmission telah berkembang menjadi  tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek sosial budaya (Winataputra, 2004). Pendidikan kewarganegaraan merupakan  bidang kajian yang menghubungkan berbagai  dimensi ilmu seperti psikologi, sosial budaya, ilmu politik dan ilmu pendidikan yang relevan. Hal ini berimplikasi terhadap proses pendidikan bagi warga negara Indonesia dalam konteks sistem pendidikan nasional.

Seperti diketahui bersama, pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Mata pelajaran ini menggantikan istilah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang telah ‘dikubur’ dengan adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK). Kurikulum 2004 yang disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi telah menghilangkan kata ”Pancasila” dari PPKn, sehingga menjadi PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan. Demikian juga dalam KTSP 2006, yang dalam struktur programnya, tidak ada lagi kata Pancasila. Apabila PMP dan PPKn lebih menekankan pada pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, agak berbeda dengan PKn paradigma baru yang mengemban tiga fungsi pokok, yaitu civic intelligence, civic responsibility, dan civic participation (Udin Winataputra, 2005: 1.1). Wawasan pelajaran ini begitu luas mencakup delapan ruang lingkup, yaitu Pancasila, Konstitusi Negara, Norma, Hukum, dan Peraturan, HAM, Kekuasaan dan Politik, Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Kebutuhan Warga Negara, dan  Globalisasi. Apabila mencermati kedelapan ruang lingkup tersebut, maka yang lebih dikedepankan dari mata pelajaran ini bukan lagi hanya sebatas moral atau karakter saja seperti mata pelajaran sebelumnya (PMP dan PPKn).  

Akan tetapi, penyajian materi pendidikan moral di sekolah yang diharapkan dapat membantu membentuk karakter anak, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks. Selain itu, pembelajarannya juga kurang mengaitkan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga siswa kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi. Pembelajaran yang dilakukan guru juga masih tampak kurang keterpaduan, baik dengan mata pelajaran lain maupun pemilihan model dan strategi pembelajarannya Bagi sebagian siswa, materi pelajaran PKn dirasakan sebagai beban yang hanya menambah bahan hafalan, tidak dihayati, dirasakan bahkan diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari. Ironisnya lagi, berdasarkan pengamatan penulis, pelajaran PKn yang tidak termasuk dalam mata pelajaran yang diujikan secara nasional terkadang ‘disepelekan’, dipandang sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting oleh sebagian guru. 

Selain mata pelajaran yang bentuk dan isinya secara sengaja mengusung pendidikan karakter, seperti pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, seluruh mata pelajaran diharapkan tidak hanya mengajarkan ilmu dan keterampilan, tetapi juga membina sikap dan perilaku siswa. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa secara optimal, maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu di semua mata pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran yang juga terpadu. Semua guru mata pelajaran diberikan tugas tambahan untuk menganalisa semua aspek yang diajarkan dan dihubungkan dengan pendidikan karakter. Sebagai contoh, guru IPS mengajarkan tentang berbagai jenis budaya. Materi ini akan ditambah dengan bagaimana siswa menghargai budaya yang ada di Indonesia, bagaimana menjaga lingkungan sekitarnya. Demikian juga bagi semua guru mata pelajaran yang ada di sekolah.

Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu, diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dengan serangkaian kegiatan (Lewa Karma, 2004) antara lain:
(1)   mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai,
(2)   mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran
pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu, kematangan dalam pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral,
(3)   mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di rumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa, serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,
(4)   mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal
yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral,
(5)   mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup (Khoiruddin Bashori, 2010).
Adapun nilai-nilai karakter bangsa yang perlu ditransformasi- kan kepada siswa didik sedini mungkin disarikan dari beberapa sumber bacaan, antara lain:
1.      Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.      Jujur yaitu memiliki sikap dan sifat yang luhur sebagai warga negara dan merupakan suatu keniscayaan. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara dengan negara, memiliki misi dalam mengentaskan kemiskinan dan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama ;
3.      Adil adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tujuan yang baik tidak akan diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil.
4.      Rasa hormat dan tanggung jawab terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan/agama, dan ideologi politik (komitmen bersatu),turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas dasar pluralitas tersebut (Bhineka Tunggal Ika);
5.      Sikap kritis terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik) maupun terhadap kenyataan supra empiris atau metafisik (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri.
6.      Sikap kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap pemahaman terhadap pendapat yang berbeda;
7.      Sikap terbuka didasarkan atas kesadaran akan pluralis- me dan keterbatasan diri yang akan melahirkan kemam- puan dalam  menahan diri, tidak secepatnya menjatuh- kan penilaian atau pilihan;
8.      Rasional yaitu memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan secara bebas dan logis.Ini merupakan hal yang harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang di-ambil secara rasional akan melahirkan sikap yang tegas dan pemikiran yang logis.
9.      Cerdas dan arif yakni memiliki Inteligensi jamak. Inteligensi merupakan kemampuan untuk memecahkan persoalan dan dapat menghasilkan produk dalam suatu seting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Intelegensi seseorang bukan hanya diukur dengan tes tertulis, melainkan lebih tepat diukur melalui cara bagaimana orang itu memecahkan persoalan dalam kehidupan yang nyata secara cerdas dan bijak (arif).


Melalui Pembelajaran PKn diharapkan dapat membentuk karakter siswa SD agar siswa tidak menyontek ketika sedang mengerjakan soal ujian, bersikap rajin , tidak acuh tak acuh, tidak melakukan  tawuran antarsesama siswa, tidak melakukan pergaulan bebas, tidak terlibat narkoba, tingginya  kepedulian pada orang lain, memiliki sikap sopan santun dan tata krama, dan memiliki  rasa hormat kepada orang tua














BAB IV
PENUTUP

a.    Kesimpulan

Mata pelajaran Pkn berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Maka dari itu, mata pelajaran Pkn ini mencakup materi tentang moral dan nilai khusunya pembelajaran di Sekolah Dasar yang menjadi pondasi dasar pembentukan karakter siswa.

Pembelajaran PKn SD akan berhasil jika dalam mempersiapkan, merencanakan dan dalam pelaksanaan pembelajarannya telah di susun dengan sebaik- baiknya. Sebagai calon guru SD kita hendaknya dapat mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakannya dengan baik.

penyajian materi pendidikan moral di sekolah yang diharapkan dapat membantu membentuk karakter anak, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks. Selain itu, pembelajarannya juga kurang mengaitkan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga siswa kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi. Pembelajaran yang dilakukan guru juga masih tampak kurang keterpaduan, baik dengan mata pelajaran lain maupun pemilihan model dan strategi pembelajarannya Bagi sebagian siswa, materi pelajaran PKn dirasakan sebagai beban yang hanya menambah bahan hafalan, tidak dihayati, dirasakan bahkan diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari. Ironisnya lagi, berdasarkan pengamatan penulis, pelajaran PKn yang tidak termasuk dalam mata pelajaran yang diujikan secara nasional terkadang ‘disepelekan’, dipandang sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting oleh sebagian guru. 

b.    Saran

Agar pembentukkan karakter siswa SD berjalan sebagaimana mestinya, guru harus serius dalam membelajarkan materi yang terdapat pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.  Karena jika tidak diberikan Pendidikan Kewarganegaraan, anak tidak akan mempunyai karakter yang baik .















DAFTAR PUSTAKA

Udin S. Winataputra. 2005. Materi dan Pembelajaran PKN SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Ruminiati. 2007. Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan SD. Jakarta: Depdiknas.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.
Lewa Karma. (2004). Merancang Pendidikan Moral dan Budi Pekerti. Artikel Pendidikan Network, diunduh pada tanggal 30 April 2010.



0 Comments:

Post a Comment



5 orang aneh

5 orang aneh

Jumat, 13 Januari 2012

UAS PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PKN SD

Diposting oleh NinaDN di 03.11
PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA SD MELALUI PEMBELAJARAN PKN
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia, baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi, sangat penting untuk segera diwujudkan. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, tetapi juga bagaimana merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan merata (Marihot Manullang, 2010).

Mata pelajaran Pkn berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Maka dari itu, mata pelajaran Pkn ini mencakup materi tentang moral dan nilai khusunya pembelajaran di Sekolah Dasar yang menjadi pondasi dasar pembentukan karakter siswa.

Pembelajaran PKn SD akan berhasil jika dalam mempersiapkan, merencanakan dan dalam pelaksanaan pembelajarannya telah di susun dengan sebaik- baiknya. Sebagai calon guru SD kita hendaknya dapat mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakannya dengan baik.

Top of Form
Bottom of Form


Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan bermoral baik. Sebagai bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah dan mata kuliah di perguruan tinggi. Kedua, sebagai program pendidikan politik. Ketiga sebagai kerangka konseptual yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan.
Sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajegan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewarganegaraan, dan juga pendidikan IPS. Hal ini terlihat dari penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar pakai. Dalam Kurikulum 1975 disebutkan sebagai Pendidikan Kewargaan Negara (PKN), kemudian pada tahun 1984 diperkenalkan materi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang berisikan materi dan pengalaman belajar tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau “Eka Prasetia Pancakarsa.” Pada tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dadsar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Di era Kurikulum tahun 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang materi dan pengalaman belajar mencakup dimensi politik, hukum, dan moral, yang mengarah pada pembentukan watak/karakter kewarganegaraan.

Sebagai pendidikan politik tercermin pada masa orde lama, civics tampil dalam bentuk indoktrinasi politik Manipol Usdek dan Nasakom, kemudian pada masa orde baru mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dikemas sedemikian rupa sebagai wahana memasyarakatkan P4. Sedangkan di era reformasi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) memuat isu-isu dan fenomena zaman seperti demokratisasi, hak asasi manusia, hukum, dan globalisasi.
Dalam status yang ketiga sebagai kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan yang belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik.

Konsep pendidikan kewarganegaraan sebagai citizenchip education, yang seharusnya mengarah pada pembentukan karakter (character building) terabaikan. Dalam pembelajaran guru cenderung memihak pada tuntutan formal kurikuler dan kurang memperhatikan pengembangan pendidikan kewarganegaraan. Pembelajaran sosial nilai-nilai Pancasila cenderung berubah peran dan fungsinya menjadi proses indoktrinasi ideologi.

Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatan masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya belum saling mendukung secara komprehensif.Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. 1
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.



B.      Pengertian Judul

Pembentukkan karakter siswa SD melalui Pembelajaran PKn , artinya melalui materi-materi yang terdapat pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat membentu karakter siswa SD.
pendidikan merupakan upaya paling penting untuk membentuk kepribadian peserta didiknya. Selama ini, pendidikan moral disampaikan secara marjinal. Tanggung jawab pendidikan ini dibebankan pada pelajaran tertentu. Salah satu mata pelajaran yang sejak dahulu ‘dititipi’ untuk membantu membentuk karakter siswa di sekolah adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).



















BAB II
PERMASALAHAN

Apabila mencermati kondisi bangsa akhir-akhir ini, ketersediaan sumber daya manusia yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Hal ini perlu segera dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Selain itu, sampai saat ini sumber daya manusia yang dihasilkan melalui pendidikan di Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan seperti yang diharapkan dan tertuang dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003. Banyak ditemukan siswa yang menyontek ketika sedang mengerjakan soal ujian, bersikap malas, acuh tak acuh,  tawuran antarsesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, munculnya budaya materialistis, individualis, egosentris, kurang peka, rendahnya kepedulian pada orang lain, sopan santun dan tata krama mulai ditinggalkan, berkurangnya rasa hormat kepada orang tua merupakan contoh kasus-kasus aktual yang tidak sedikit ditemui dari para generasi muda. Salah satu budaya kekerasan yang membuat bangsa Indonesia diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok beberapa waktu yang lalu.
Berdasarkan berbagai fenomena yang sudah diuraikan di atas, pendidikan merupakan upaya paling penting untuk membentuk kepribadian peserta didiknya. Selama ini, pendidikan moral disampaikan secara marjinal. Tanggung jawab pendidikan ini dibebankan pada pelajaran tertentu. Salah satu mata pelajaran yang sejak dahulu ‘dititipi’ untuk membantu membentuk karakter siswa di sekolah adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).





BAB III
PEMBAHASAN

1.       Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Sebagaimana lazimnya semua mata pelajaran, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran memiliki visi, misi, tujuan, dan struktur keilmuaan mata pelajaran. Visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara. Misi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara, dilandasi oleh kesadaran politik, kesadaran hukum, dan kesadaran moral.
Adapun tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi sebagai berikut:

a.       memiliki kemampuan berfikir secara rasional, kritis, dan kreatif, sehingga mampu memahami berbagai wacana kewarganegaraan.
b.      Memiliki ketrampilan intelektual dan ketrampilan berpartisipasi secara demokratis dan bertanggung jawab.
c.       Memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan struktur keilmuan mata pelajaran mencakup dimensi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan nilai (values). Sejalan dengan hal tersebut telah berkembang wacana tentang pendidikan kewarganegaraan paradigma baru (new civil education) yang menyatakan bahwa struktur keilmuan mata pealajaran Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dimensi pengetahuan kewarganegaran (civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan (civic skill), dan watak atau karater kewarganegaraan (civic dispositions).

Secara garis besar, dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) yang tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi politik, hukum, dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran merupakan bidang kajian antar disiplin. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraaan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

Keterampilan kewarganegaran (civic skill) meliputi ketrampilan intelektual (intelektual skill) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skill) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keterampilan intelektual contohnya adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik seperti perlu atau tidaknya kampanye secara massal. Keterampilan berpartisipasi contohnya adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, seperti perlu atau tidaknya melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

Watak/karakter kewarganegaraan (civic disposition) merupakan dimensi yang paling subdstantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dimensi watak/karakter dipandang sebagai “muara” dari kedua dimensi lainnya.Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan , karakteristik mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran ditandai dengan penekanan dimensi watak, karakter, sikap dan hal-hal lain yang bersifat afektif.


2.       Pendidikan Karakter

Simon Philip dalam Qomari Anwar (2010) menyebutkan bahwa karakter merupakan kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Memahami karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, karakteristik, atau sifat yang khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima lingkungan.
Winne dalam Qamarulhadi (1996) menyebutkan bahwa karakter menunjukkan tindakan atau tingkah laku seseorang. Karakter erat keitannya dengan personality, seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Menyikapi dari pengertian tersebut peran pendidikan sangat penting dalam membentuk karakter seseorang. Pendidikan sebagai proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Dalam proses pendidikan karakter, peserta didik harus mendapatkan sekurang-kurangnya mencakup tiga hal, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis, (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

3.       Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pembentukan karakter.

Seperti disebutkan di atas bahwa dimensi watak/karakter merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sehingga perlu mendapat penekanan yang lebih dibanding dimensi lainnya.
Paradigma pendidikan pada dewasa ini secara umum menekankan pada kompetensi (kemampuan) yang harus dimiliki oleh peserta didik pada suatu jenjang pendidikan, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan penghayatan nilai-nilai. Intelektualitas dianggap faktor utama yang akan membawa orang pada kesuksesan dalam kehidupan. Hal dibantah oleh Goleman dalam Turmudhi (2003) menyebutkan bahwa kepribadian/karakter yang jauh lebih besar peranannya dibanding kemampuan intelektual dalam mengantarkan kejayaan suatu bangsa .Goleman menunjukkan betapa banyak orang yang secara intelektual tergolong pintar , tetapi gagal dalam kehidupannya. Kemampuan intelektualnya tidak didukung dengan kepribadian atau karakter yang baik, mengakibatkan timbulnya orang pintar yang jahat. Kemampuan intelektualnya digunakan untuk membodohi orang lain, sehingga muncul sikap-sikap berbuat curang, menipu, berbohong, berkhianat, bertindak korup dan sebagainya. Tak bisa dipungkiri kondisi bangsa Indonesia yang dilanda krisis multi dimensional, antara lain bersumber dari orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi tetapi memiliki kepribadian yang baik, sehingga menghasilkan moralitas-spiritualitas bangsa yang rendah.

Pengasahan kemampuan manusiawi (human capability) dalam pendidikan perlu memprioritaskan pencerdasan spiritual sebagai yang utama, yang kedua pencerdasan emosionalitas, dan yang ketiga pencerdasan intelektual (Turmudhi: 2003). Sebagai wahana pembentukan karakter bangsa maka dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu adanya perubahan paradigma. Orientasi kita yang lebih memprioritaskan ranah pengetahuan (kognitif), kita balik dengan lebih berorientasi pada ranah sikap (afektif) dan penerapan tingkah laku (psikomotor).
Proses pembentukan karakter bukan semudah membalik telapak tangan tetapi melalui proses yang meliputi pemberian informasi, penanaman kepribadian, dan pembiasaan (Munif Chatif:2008). Dalam kaitan ini pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu menampilkan contoh-contoh kepribadian yang baik pada akhirnya peserta didik akan meniru, dan menjadi suatu keyakinan dalam pola hidup, kemudian menjadi suatu kebiasaan dalam sikap dan tingkah laku.
Berdasarkan konsep tersebut perlu adanya pola pikir baru yang diterapkan dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara lain : misi pembentukan karakter peserta didik harus dijadikan dasar dan semangat dari setiap kebijakan, peraturan, program, maupun perillaku keseharian institusi sekolah, guru harus menjadi contoh teladan bagi pengembangan moralitas-spiritualitas di lingkungan sekolah, mata pelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga bermuatan pencerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sekaligus, sekolah harus menjadi tempat pergaulan sosial yang nyata untuk membiasakan atau membudayakan nilai-nilai spiritual, emosional dan intelektual. Sikap dan perilaku serta hubungan antara guru, murid, dan karyawan mencerminkan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas semua sivitas akademika sekolah.

Pembentukan karakter dalam Pendidikan Kewarganegaraan bersumber pada lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia yang mencakup unsur transendensi (Ketuhanan Yang Maha Esa), humanisasi (kemanusiaan yang adil dan beradab), kebinekaan (persatuan), demokratisasi (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan), keadilan (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan  satu di antara tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission. Saat ini citizenship tranmission telah berkembang menjadi  tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek sosial budaya (Winataputra, 2004). Pendidikan kewarganegaraan merupakan  bidang kajian yang menghubungkan berbagai  dimensi ilmu seperti psikologi, sosial budaya, ilmu politik dan ilmu pendidikan yang relevan. Hal ini berimplikasi terhadap proses pendidikan bagi warga negara Indonesia dalam konteks sistem pendidikan nasional.

Seperti diketahui bersama, pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Mata pelajaran ini menggantikan istilah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang telah ‘dikubur’ dengan adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK). Kurikulum 2004 yang disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi telah menghilangkan kata ”Pancasila” dari PPKn, sehingga menjadi PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan. Demikian juga dalam KTSP 2006, yang dalam struktur programnya, tidak ada lagi kata Pancasila. Apabila PMP dan PPKn lebih menekankan pada pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, agak berbeda dengan PKn paradigma baru yang mengemban tiga fungsi pokok, yaitu civic intelligence, civic responsibility, dan civic participation (Udin Winataputra, 2005: 1.1). Wawasan pelajaran ini begitu luas mencakup delapan ruang lingkup, yaitu Pancasila, Konstitusi Negara, Norma, Hukum, dan Peraturan, HAM, Kekuasaan dan Politik, Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Kebutuhan Warga Negara, dan  Globalisasi. Apabila mencermati kedelapan ruang lingkup tersebut, maka yang lebih dikedepankan dari mata pelajaran ini bukan lagi hanya sebatas moral atau karakter saja seperti mata pelajaran sebelumnya (PMP dan PPKn).  

Akan tetapi, penyajian materi pendidikan moral di sekolah yang diharapkan dapat membantu membentuk karakter anak, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks. Selain itu, pembelajarannya juga kurang mengaitkan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga siswa kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi. Pembelajaran yang dilakukan guru juga masih tampak kurang keterpaduan, baik dengan mata pelajaran lain maupun pemilihan model dan strategi pembelajarannya Bagi sebagian siswa, materi pelajaran PKn dirasakan sebagai beban yang hanya menambah bahan hafalan, tidak dihayati, dirasakan bahkan diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari. Ironisnya lagi, berdasarkan pengamatan penulis, pelajaran PKn yang tidak termasuk dalam mata pelajaran yang diujikan secara nasional terkadang ‘disepelekan’, dipandang sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting oleh sebagian guru. 

Selain mata pelajaran yang bentuk dan isinya secara sengaja mengusung pendidikan karakter, seperti pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, seluruh mata pelajaran diharapkan tidak hanya mengajarkan ilmu dan keterampilan, tetapi juga membina sikap dan perilaku siswa. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa secara optimal, maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu di semua mata pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran yang juga terpadu. Semua guru mata pelajaran diberikan tugas tambahan untuk menganalisa semua aspek yang diajarkan dan dihubungkan dengan pendidikan karakter. Sebagai contoh, guru IPS mengajarkan tentang berbagai jenis budaya. Materi ini akan ditambah dengan bagaimana siswa menghargai budaya yang ada di Indonesia, bagaimana menjaga lingkungan sekitarnya. Demikian juga bagi semua guru mata pelajaran yang ada di sekolah.

Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu, diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dengan serangkaian kegiatan (Lewa Karma, 2004) antara lain:
(1)   mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai,
(2)   mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran
pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu, kematangan dalam pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral,
(3)   mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di rumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa, serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,
(4)   mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal
yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral,
(5)   mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup (Khoiruddin Bashori, 2010).
Adapun nilai-nilai karakter bangsa yang perlu ditransformasi- kan kepada siswa didik sedini mungkin disarikan dari beberapa sumber bacaan, antara lain:
1.      Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.      Jujur yaitu memiliki sikap dan sifat yang luhur sebagai warga negara dan merupakan suatu keniscayaan. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara dengan negara, memiliki misi dalam mengentaskan kemiskinan dan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama ;
3.      Adil adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tujuan yang baik tidak akan diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil.
4.      Rasa hormat dan tanggung jawab terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan/agama, dan ideologi politik (komitmen bersatu),turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas dasar pluralitas tersebut (Bhineka Tunggal Ika);
5.      Sikap kritis terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik) maupun terhadap kenyataan supra empiris atau metafisik (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri.
6.      Sikap kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap pemahaman terhadap pendapat yang berbeda;
7.      Sikap terbuka didasarkan atas kesadaran akan pluralis- me dan keterbatasan diri yang akan melahirkan kemam- puan dalam  menahan diri, tidak secepatnya menjatuh- kan penilaian atau pilihan;
8.      Rasional yaitu memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan secara bebas dan logis.Ini merupakan hal yang harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang di-ambil secara rasional akan melahirkan sikap yang tegas dan pemikiran yang logis.
9.      Cerdas dan arif yakni memiliki Inteligensi jamak. Inteligensi merupakan kemampuan untuk memecahkan persoalan dan dapat menghasilkan produk dalam suatu seting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Intelegensi seseorang bukan hanya diukur dengan tes tertulis, melainkan lebih tepat diukur melalui cara bagaimana orang itu memecahkan persoalan dalam kehidupan yang nyata secara cerdas dan bijak (arif).


Melalui Pembelajaran PKn diharapkan dapat membentuk karakter siswa SD agar siswa tidak menyontek ketika sedang mengerjakan soal ujian, bersikap rajin , tidak acuh tak acuh, tidak melakukan  tawuran antarsesama siswa, tidak melakukan pergaulan bebas, tidak terlibat narkoba, tingginya  kepedulian pada orang lain, memiliki sikap sopan santun dan tata krama, dan memiliki  rasa hormat kepada orang tua














BAB IV
PENUTUP

a.    Kesimpulan

Mata pelajaran Pkn berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Maka dari itu, mata pelajaran Pkn ini mencakup materi tentang moral dan nilai khusunya pembelajaran di Sekolah Dasar yang menjadi pondasi dasar pembentukan karakter siswa.

Pembelajaran PKn SD akan berhasil jika dalam mempersiapkan, merencanakan dan dalam pelaksanaan pembelajarannya telah di susun dengan sebaik- baiknya. Sebagai calon guru SD kita hendaknya dapat mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakannya dengan baik.

penyajian materi pendidikan moral di sekolah yang diharapkan dapat membantu membentuk karakter anak, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks. Selain itu, pembelajarannya juga kurang mengaitkan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga siswa kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi. Pembelajaran yang dilakukan guru juga masih tampak kurang keterpaduan, baik dengan mata pelajaran lain maupun pemilihan model dan strategi pembelajarannya Bagi sebagian siswa, materi pelajaran PKn dirasakan sebagai beban yang hanya menambah bahan hafalan, tidak dihayati, dirasakan bahkan diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari. Ironisnya lagi, berdasarkan pengamatan penulis, pelajaran PKn yang tidak termasuk dalam mata pelajaran yang diujikan secara nasional terkadang ‘disepelekan’, dipandang sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting oleh sebagian guru. 

b.    Saran

Agar pembentukkan karakter siswa SD berjalan sebagaimana mestinya, guru harus serius dalam membelajarkan materi yang terdapat pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.  Karena jika tidak diberikan Pendidikan Kewarganegaraan, anak tidak akan mempunyai karakter yang baik .















DAFTAR PUSTAKA

Udin S. Winataputra. 2005. Materi dan Pembelajaran PKN SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Ruminiati. 2007. Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan SD. Jakarta: Depdiknas.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.
Lewa Karma. (2004). Merancang Pendidikan Moral dan Budi Pekerti. Artikel Pendidikan Network, diunduh pada tanggal 30 April 2010.



0 komentar on "UAS PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PKN SD"

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates